Tuesday, July 3, 2012

Penyalahgunaan Kebebasan Beragama

Peter Singer ; Guru Besar Bioetika pada Princeton University
KORAN TEMPO, 02 Juli 2012



Batas mana yang pantas dikenakan pada kebebasan beragama? Marianne Thieme, pemimpin Partai Pembela Hewan di Belanda, menawarkan jawaban ini: “Kebebasan beragama berakhir pada titik mulainya manusia atau hewan itu mengalami penderitaan.“

Partai Pembela Hewan, satu-satunya partai pembela hak asasi hewan yang diwakili dalam parlemen suatu negara, telah mengajukan usul dibuatnya undangundang yang melarang hewan dipingsankan sebelum disembelih. Usul ini telah menyatukan para pemimpin Islam dan Yahudi dalam membela apa yang mereka anggap sebagai ancaman terhadap kebebasan beragama, karena doktrin agama mereka melarang makan daging hewan yang sedang dalam keadaan tak sadar ketika disembelih.

Parlemen Belanda telah memberi waktu satu tahun kepada para pemimpin Islam dan Yahudi itu untuk membuktikan bahwa cara penyembelihan menurut agama mereka itu tidak menimbulkan penderitaan yang lebih besar daripada cara penyembelihan dengan memingsankan lebih dulu hewan yang bersangkutan. Jika mereka tidak bisa membuktikannya, yang akan diberlakukan adalah dengan memingsankan hewan itu lebih dulu sebelum disembelih.

Sementara itu, di Amerika Serikat, para uskup Katolik mengatakan Presiden Barack Obama telah melanggar kebebasan beragama ketika mewajibkan pemberi kerja, termasuk rumah sakit dan universitas Katolik, mengadakan asuransi kesehatan untuk para pegawai mereka yang meliputi penyediaan kontrasepsi. Dan di Israel, kaum ultra-ortodoks, yang mengatakan hukum Yahudi melarang pria menyentuh wanita yang bukan muhrim, menuntut disediakannya tempat duduk terpisah bagi wanita di dalam bus dan dibatalkannya rencana pemerintah mengakhiri ketentuan yang membebaskan siswa sekolah agama dari wajib militer (63 ribu orang pada 2010).

Ketika orang dilarang menjalankan perintah agamanya--misalnya dengan undang-undang yang melarang beribadah dengan cara tertentu--jelas bahwa kebebasan beragama mereka telah dilanggar. Pengajaran terhadap umat beragama biasa terjadi pada abad-abad yang lalu, dan masih terjadi di beberapa negara saat ini.

Tapi melarang disembelihnya hewan dalam keadaan sadar tidak akan menghentikan umat Yahudi atau muslim dalam menjalankan perintah agamanya. Selama berlangsungnya debat di parlemen mengenai usul yang diajukan Partai Pembela Hewan itu, Binyomin Jacobs, kepala rabi di Belanda, mengatakan kepada para anggota parlemen: “Jika kami tidak lagi punya orang di Belanda yang bisa melakukan penyembelihan hewan dengan ritual dalam keadaan sadar, maka kami tidak lagi akan makan daging hewan.“ Dan itu, sudah pasti, adalah apa yang harus dilakukan seseorang bahwa ia patuh kepada agama yang mensyaratkan disembelihnya hewan dengan cara yang katanya kurang manusiawi daripada dengan cara modern.

Baik Islam maupun Yahudi tidak menjunjung tinggi keharusan mengkonsumsi daging. Dan saya tidak menyeru umat Yahudi dan Islam untuk berbuat seperti, yang karena alasan etika, sudah saya lakukan sendiri selama lebih dari 40 tahun ini.

Membatasi legitimasi membela kebebasan beragama hanya pada penolakan terhadap usulan yang menghentikan orang menjalankan perintah agama mereka mungkin bisa menyelesaikan banyak sengketa lainnya di mana, katanya, kebebasan beragama dipertaruhkan. Misalnya, mengizinkan pria dan wanita duduk di bagian mana saja di dalam bus tidak melanggar kebebasan beragama Yahudi ortodoks, karena undangundang Yahudi tidak memerintahkan orang harus menggunakan angkutan umum.

Angkutan umum cuma suatu kemudahan yang tanpa sarana itu orang juga bisa hidup—dan Yahudi ortodoks hampir tidak bisa meyakini bahwa undang-undang yang mereka patuhi itu dimaksudkan untuk memaksimalkan kenyamanan hidup mereka.
Begitu juga keharusan yang diterapkan pemerintahan Obama perihal diadakannya asuransi kesehatan yang mencakup penyediaan kontrasepsi tidak menghalangi umat Katolik melaksanakan perintah agama mereka. Gereja Katolik tidak mewajibkan para penganutnya menyelenggarakan rumah sakit dan universitas.
(Pemerintah sudah membebaskan jemaat gereja dan keuskupan dari kewajiban ini, dan dengan demikian menarik garis perbedaan antara lembaga yang pokok bagi kebebasan melaksanakan perintah agama seseorang dan lembaga-lembaga sampingannya).

Sudah tentu dapat dipahami bila gereja Katolik enggan melepaskan jaringan
rumah sakit dan universitasnya yang luas itu. Perkiraan saya adalah bahwa, sebelum berbuat demikian, mereka akhirnya akan memandang ketentuan mengenai asuransi kesehatan yang meliputi penyediaan kontrasepsi itu sebagai sesuatu yang sesuai dengan ajaran agama mereka. Tapi, jika gereja Katolik mengambil keputusan yang bertolak belakang, serta menyerahkan rumah sakit dan universitasnya kepada badan-badan yang bersedia menyediakan kontrasepsi itu, umat Katolik masih bebas beribadah dan menjalankan perintah agama mereka.

Persoalan dibebaskannya seseorang dari wajib militer bisa lebih sulit dipecahkan karena beberapa agama mengajarkan pasifisme. Masalah itu biasanya dipecahkan dengan menyediakan wajib alternatif yang tidak kurang beratnya daripada wajib militer (sehingga agama-agama tersebut tidak menarik minat penganut karena alasan itu saja), tapi yang tidak melibatkan pertempuran atau pembunuhan.

Tapi Yudaisme bukan agama pasifisme.

Jadi, sekali lagi, dalam hal ini tidak ada persoalan riil mengenai kebebasan beragama yang dipertaruhkan. Yahudi ortodoks meminta dibebaskan dari wajib militer bagi mereka yang menghabiskan waktu untuk mempelajari Taurat, dengan alasan mempelajari Taurat itu sama pentingnya dengan wajib militer bagai kemaslahatan Israel. Memberikan opsi wajib militer yang sifatnya non-tempur tidak akan menyelesaikan sengketa ini, kecuali opsi itu mengan dung studi mengenai Taurat. Tapi tidak ada alasan mengapa mayoritas rakyat Israel yang sekuler itu harus menerima dan berbagi keyakinan bahwa, dengan puluhan ribu siswa ultra-ortodoks mempelajari Taurat, maka yang memperoleh manfaatnya adalah negara, dan mempelajari Taurat ini jelas tidak seberat mengikuti wajib militer.

Tidak semua konflik antara agama dan negara ini dengan mudah dipecahkan. Tapi fakta bahwa ketiga persoalan ini, yang semuanya sekarang menimbulkan kontroversi di negara-negara bersangkutan, dan yang sebenarnya bukan mengenai kebebasan menjalankan perintah agama seseorang, memberi kesan bahwa daya tarik kebebasan beragama itu sudah disalahgunakan. ●

No comments: