Tuesday, July 3, 2012

Korupsi Tak Pilih Tempat



Koran Jakarta, Kamis, 28 Juni 2012
Oleh Abdul Wahid, dosen pascasarjana Unisma Malang


"Jika manusia masih tetap jahat dengan adanya agama, bagaimana lagi jika tiada agama?" Demikian pernyataan mantan deklarator kemerdekaan Amerika, Benjamin Franklin. Pernyataan itu mengingatkan atau menohok setiap pemeluk agama di mana pun agar hidup jauh dari kejahatan.

Masyarakat dari hari ke hari belum menampakkan sebuah komunitas yang benar-benar religius. Agama lebih banyak hanya pada tataran formalitas. Agama menjadi sinetron ritualitas.

Bangsa ini sudah terbiasa atau "mentradisikan" korupsi dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali di tempat yang berlabel "agama" seperti Kementerian Agama (kemenag). Dari waktu ke waktu, Kemenag memang menjadi "juara" kebocoran anggaran. Beberapa waktu lalu hal itu juga ditunjukkan sebuah survei. Yang teranyar adalah dugaan kebocoran dalam pengadaan kitab suci Al Quran.

Pengadaan barang di suatu kementerian atau institusi memang sulit dikatakan tak tersentuh dari praktik penyalahgunaan. Dalam kasus di Kemenag, tetap harus dikedepankan prinsip praduga tak bersalah.

Dugaan kasus korupsi pengadaan di Kemenag itu (jika terbukti) merupakan sampel bahwa korupsi merupakan penyakit yang sudah menyebar ke mana-mana dan bisa melibatkan siapa saja. Tokoh apa pun, baik itu agama, politik, budaya, ekonomi, maupun pendidikan semakin terlihat tidak steril dari kemungkinan tergoda atau malahan sudah terjerumus dalam sistem dan budaya korupsi.

Seorang sosiolog besar seperti Gunnar Myrdal telah menunjukkan bahwa suatu negara disebut lembek (soft state) ketika mentalitas kerja birokrat atau pejabat-pejabat negaranya lamban, indisipliner, dan sering menyalahgunakan kewenangan. Mentalitas demikian inilah yang membuat kehidupan negara menjadi karut-marut.

Wajah karut-marut tersebut pun juga dapat terbaca bahkan dalam setiap kali ada bencana alam atau tragedi kemanusiaan. Dalam kesempatan itu, sudah berulang kali pejabat yang diadili karena mengorup bantuan yang seharusnya dibagikan kepada para korban. Dalam situasi seperti itu pun, birokrat yang bermental tidak baik, sempat-sempatnya memikirkan cara memasukkan bantuan ke kantong sendiri untuk memperkaya diri.

Ucapan Myrdal tersebut sebenarnya tergolong kritik cerdas terhadap setiap pelayan masyarakat atau birokrat. Myrdal mengidolakan birokrat yang kuat dalam mengemban pelayanan publik yang selalu mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi dan golongan. Dia mengharap birokrat yang menempatkan etos kerja sebagai napas utama dalam kinerjanya.

Birokrat yang masih suka melakukan malversasi (penyalahgunaan) kewenangan atau perannya serta indisipliner merupakan penyakit yang tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup bangsa dan negara. Sebagai elemen pemerintahan, birokrat demikian layak disebut sebagai penyebar dan pembuat "nestapa negara". Mereka ini dipercaya negara untuk melayani masyarakat, tapi menyalahgunakannya.

Komitmen dan teguh pendirian merupakan senyawa dan konvergensi nilai-nilai moralitas luhur yang dijadikan tolok ukur keimanan seseorang. Kalau keteguhan pada janji dan kinerja bermoral bisa ditegakkan, ini merupakan modal besar. Birokrat yang seperti itu layak disebut orang beragama atau beriman. Yang demikian ini tidak memiliki penyakit koruptif dalam konstruksi bermasyarakat dan bernegara.

Seorang birokrat sangat pantas disebut pendusta agama dan pengkhianat teologis jika aktivitasnya secara individual maupun struktural tidak berdasar amanat dan keteguhan pada janji. Norma-norma moral yang sering dijadikan objek pembelajaran dan diformalisasikan sering hanya menghiasai hapalan di kepala dan ucapan lisan, tapi tidak sampai terinternalisasi secara empirik dalam perbuatan.

Setiap kali seseorang dilantik penjadi pejabat (birokrat), dituntut berjanji untuk menegakkan amanat. Di antaranya, janji akan menjalankan tugas sebagai pelayan (pengabdi) umat. Janji tidak akan menerima dan meminta sesuatu dari orang lain yang berhubungan dengan jabatannya. Janji tidak melakukan perbuatan tercela yang merugikan masyarakat.

Dalam janji yang terucap itu, birokrat sangat fasih melantunkan kata-kata suci yang melibatkan nama Tuhan di dalamnya. Misalnya "Demi Allah, saya akan menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh dan sebenar-benarnya." Janji ini tidak main-main karena dari ucapannya ini, birokrat menyerahkan dirinya dalam "perjanjian ketuhanan". Itu memosisikan problem kerakyatan menjadi muatan istimewa dalam napas dan geraknya.

Janji seperti itu seharusnya merupakan pengejawentahan iman seseorang yang dilafalkan secara lisan. Namun, itu seharusnya dilanjutkan dan dikembangkan dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan kerja. Itu juga harus dipraktikkan dalam aktivitas yang berkaitan dengan peran-peran strategis dan fundamental seperti menjaga dan mendistribusikan kesejahteraan untuk rakyat secara benar.

Jika janji tersebut diingkari (karena dikalahkan praktik penyelingkuhan jabatan), perbuatan ini dapat disebut sebagai "korupsi" yang sejati. Korupsi pengadaan barang merupakan salah satu sampel dari korupsi makro bangsa yang sudah mengakar dan tampaknya akan terus menjamur.

Ikrar birokrat yang berdimensi religius itu seharusnya menguatkan tekad dan komitmennya untuk menjadi pengabdi negara dan rakyat, bukannya malah menjerumuskan diri dalam kriminalisasi jabatan.

Ikrar merupakan sumpah yang secara teologis seharusnya membuat birokrat mampu berjalan lurus dalam menegakkan kebenaran dan melawan siapa saja yang bermaksud melakukan kriminal.

Maka dari itu, peristiwa yang menimpa masyarakat harus menjadi amanat utama yang tidak boleh dikalahkan kepentingan keluarga, apalagi berburu kepentingan sekunder dan tersier. Sebagai amanat utama, tentu saja birokrat harus benar-benar bisa memahami "bahasa" kondisi kemaslahatan masyarakat dan bukan menjadikan kepentingan fundamental sebagai objek rekayasa tipu muslihat.

Amanat yang diucapkan birokrat dengan janji, yang di dalam janjinya ini terbingkai perikatan nilai-nilai moral spiritualitas, akan menjadi amanat kosong atau sebatas "macan kertas" jika kondisi kebuntuan fundamental masyarakat yang secara umum sudah dipercayakan kepadanya, ternyata dinafikan, didegradasikan, atau dianggap bukan tanggung jawabnya.

Negeri ini akan semakin kesulitan membersihkan dirinya dari stigma sebagai republik absolutisme korupsi bilamana setiap elite agamanya juga terjerumus atau bahkan bangga menikmati korupsi. Korupsi yang dilakukan para penguasa atas tegaknya moralitas bangsa dapat berdampak kehancuran kredibilitas negara.

Rakyat tidak percaya lagi. Rakyat akan menempatkan negara tak ubahnya sebagai sumber kejahatan serius dan bukan sebagai organisasi sakral yang memikirkan nasib rakyat. Kasus dugaaan penyelewengan di Kemenenag harusnya titik balik meningkatkan kewaspadaan diri bahwa korupsi itu tidak pilih-pilih tempat.



No comments: