Monday, July 9, 2012

Bejat, Quran pun Dikorupsi


Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 07 Juli 2012


Rabu, 27 Juni lalu, Shofiyullah, teman saya yang dosen UIN Yogyakarta, berjanji bertemu saya jam 19.00, tetapi dia terlambat datang. Hingga pukul 20.00 belum nongol juga.
Akhirnya saya kirimi SMS agar dia langsung saja ke Rumah Makan Sate Klathak di Pleret Bantul. Itu pun dia masih terlambat 30 menit dari yang seharusnya bertemu jam 21.00. Begitu datang ke rumah makan itu jam 21.30 langsung saya tanya.

 ”Kok terlambat, Mas? Janjiannya tadi kan jam tujuh,” tanya saya. ”Maaf, Pak. Saya sedang meneliti halaman Alquran dari halaman ke halaman. Ini juga belum selesai separuhnya, lho,” jawab Shofiyullah. ”Mengapa diteliti segala? Tak ada kerjaan atau ada yang aneh,” tanya saya lagi. ”Tidak ada yang aneh, tapi saya hanya khawatir, jangan-jangan ada ayat atau surat dalam pencetakan Alquran yang dikorupsi juga. Itu berbahaya,” jawabnya lagi.

Tentu saja Shofiyullah hanya bergurau, bermaksud mengurangi kejengkelan saya atas keterlambatannya. Tetapi, saat itu situasinya memang tepat untuk memelesetkan berita serius menjadi bahan candaan. Maklum, saat itu masyarakat sedang disengat oleh berita korupsi pengadaan kitab suci Alquran di Kementerian Agama.

Yang didugakan dikorupsi tentu penggelembungan harga atau penentuan jumlah anggarannya atau kick back dana yang digelontorkan kepada ZD, anggota Badan Anggaran DPR yang konon ikut mengurus penyediaan anggaran pengadaan kitab suci di APBN. Ketua KPK Abraham Samad menjelaskan kasus itu pada Jumat, 29 Juni, setelah sejak dua hari sebelumnya masyarakat ribut bertanyatanya tentang modus korupsi itu.

Jadi yang dikorupsi itu bukan jumlah ayat atau surat yang harus dicetak, melainkan uang pengadaannya. Tak mungkinlah, ada orang yang begitu gila melakukan korupsi dengan cara mengurangi bagian dari isi Alquran meskipun dari sudut matematika korupsi dengan modus itu bisa dilakukan. Jadi Shofy itu memang bergurau, tetapi juga pakai logika. Lho, kok, dari sudut matematika, korupsi seperti itu bisa?

Ya, bisa saja. Misalnya korupsi dilakukan dengan cara mengurangi beberapa ayat pada setiap surat dari 114 surat yang terdiri atas 30 juz itu. Secara matematis itu bisa saja. Dengan membuang sebagian isinya, biaya produksi bisa turun meskipun dalam kontraknya tetap disebutkan ”mencetak” lengkap seluruh isi Alquran. Sisa biaya produksi dari pengurangan isi yang dicetak itu, secara matematis, bisa jadi uang korupsi tersendiri.

Kalau orang mau korupsi itu kan kerasukan setan, bahkan sama dengan setan, sehingga bisa melakukan apa saja. Berita bahwa korupsi di Indonesia sudah merasuk ke proyek pencetakan Alquran memang sangat mengejutkan, bukan hanya bagi kita yang tinggal di Indonesia, melainkan juga sampai ke mancanegara. Saat beramah-tamah dengan keluarga besar Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Alger pada 30 Juni akhir pekan lalu, berita itu menjadi salah satu sorotan dari peserta ramah-tamah saat diskusi berlangsung.

Beberapa warga Indonesia yang hadir pada diskusi setengah resmi sore itu menanyakan soal korupsi pencetakan Alquran. Ada peserta yang menanyakan itu dengan nada marah bercampur sedih, hampir-hampir menangis. ”Bagaimana ini negara kita, Pak? Alquran yang disucikan saja dikorupsi, apalagi proyek-proyek lain. Kalau benar itu terjadi, sungguh memalukan, menyedihkan, dan membahayakan,” serunya dengan emosi.

Saya pun menjawab,”Memang bejat, bukan hanya gila.” Masalah besar yang kita hadapi sebagai bangsa sekarang ini adalah merajalelanya korupsi. Sebuah media massa pernah menulis berita dengan judul ”Republik Korupsi”. Ada juga dialog interaktif di sebuah televisi swasta nasional yang juga memakai tajuk ”Republik Korupsi”. Bayangkan saja, saat ada diskusi-diskusi tentang ”Republik Korupsi” itu, meluas pemberitaan bahwa ada lebih dari 167 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) terlibat kasus korupsi.

Ada juga sekretaris menteri, dirjen, atau mantan menteri yang harus diseret ke pengadilan karena korupsi. Sekarang ini jauh lebih buruk lagi. Saat bertemu Dirjen Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan pada upacara pelantikan Rektor UGM akhir Mei lalu saya diberi tahu bahwa jumlah kepala daerah yang terlibat masalah hukum bukan hanya 167 orang, melainkan per hari itu sudah mencapai 243 orang.

Di kalangan parpol dan lingkungan DPR pun tak kalah dahsyat, banyak yang sudah dikirim ke penjara dan tak sedikit yang sekarang sedang menunggu giliran untuk digelandang ke peradilan pidana korupsi. Modus korupsinya pun gilagilaan, bukan hanya dalam penanganan proyek riil, bahkan juga sudah korupsi dan suap-menyuap dalam pembuatan undang-undang yang berkaitan dengan penentuan anggaran.

Wajarlah jika banyak warga negara Indonesia yang menangis karena marah, sedih, dan malu melihat korupsi di negaranya. Para pejabat korup itu sudah sangat bejat, pengkhianat bangsa yang tak lagi punya hati nurani sehingga tidak takut dan tidak malu. 

No comments: