Tuesday, July 3, 2012

Kolom Tom Saptaatmaja-Rasisme Belum Terkalahkan, Tabloid BOLA, 2-4 Juli 2012




"All men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness (Thomas Jefferson)

Akhirnya usai sudah perhelatan akbar Euro 2012. Selamat kepada pemenang. Dan bagi timnas yang kalah, yang berjumlah 15 negara, tidak perlu berputus asa. Masih ada harapan untuk menggapai kemenangan empat tahun mendatang di ajang Euro 2016, yang akan digelar di Prancis.Toh, baik menang atau kalah,sama-sama merupakan bagian dari permainan.

Namun ada satu hal yang belum bisa dikalahkan di Euro 2012, yakni rasisme.Jika berbicara isu satu ini, seolah ada kontradiksi. Di satu sisi,  sepak bola, di ajang manapun, termasuk Euro, hendak mempromosikan semangat persaudaraan antar manusia. Namun di sisi lain, justru masih  terjadi  rasisme yang merendahkan martabat manusia.

Seperti diketahui, rasisme lahir dari etnosentrisme yang mengagungkan  superioritas ras tertentu atas ras lain. Ini naluri primitif yang ada dalam semua peradaban. Orang Haiti misalnya, yakin merekalah orang pertama yang diciptakan para dewa, baru kemudian suku bangsa lain. Orang kulit hitam, yang kerap dijadikan sasaran rasis, juga diyakini oleh apra rasis kulit putih sebagai orang yang tidak memiliki jiwa.

Menyedihkan bahwa rasisme masih terus terjadi dan dibawa ke ranah bola. Padahal seorang Mario Balotelli, Theo Walcott, Asley Cole atau pemain bola berkulit hitam di Euro kali ini tidak bisa memilih hendak lahir berkulit apa. Tapi toh Tuhan sudah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kita saling mengisi dan berbagi. Sayang dalam kenyataan, perbedaan ras dan warna kulit, justru diselewengkan sehingga terciptalah tindakan rasis.

Upaya Otoritas Bola

FIFA, otoritas tertinggi sepak bola dunia pernah menunjuk Afrika Selatan sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010.Salah satu tujuannya agar perhelatan akbar sepak bola dunia bisa efektif melawan rasisme, karena untuk pertama kali digelar di benua hitam. Apalagi Afsel  dulu amat rasis karena rejim apartheid-nya. FIFA juga terus gencar mengkampanyekan slogan “Say No To Racism”. Tiap nonton siaran langsung Euro, kita juga diajak “Unite Againts Racism”.

Tapi rasisme tak mudah dikalahkan.Kita tentu merasakan betapa pahitnya orang yang dihina sebagai monyet, dilempari pisang, hanya karena warna kulitnya. Pantas Mario Balotelli, anak imigran asal Ghana yang membela Italia, sebelum Euro dimulai, sudah  mengancam akan membunuh siapapun yang berlaku rasis terhadap dirinya. Balotelli atau pemain lain, merasakan benar  sakitnya dicemooh sebagai “kera”. Maka EUFA-pun memberi denda tinggi pada asosiasi sepak bola peserta Euro, yang suporternya berlaku rasis, seperti Rusia atau Kroasia.

Para rasis ini jelas ingin dengan sengaja merusak dan menodai citra sepakbola sebagai olahraga yang mempersatukan umat manusia.  

Jika dikaji lebih dalam, rasisme jelas  bertentangan akal sehat dan spirit  multikulturalisme. Sepakbola merupakan olahraga yang sangat cocok dengan ‘spirit’ multikulturalisme, karena semua ras, semua umat beragama, bahkan yang ateis atau agnotis sekalipun tidak dilarang untuk menyukai sepak bola. Bahkan bermainpun tidak dilarang.

Maka di ajang Euro kali ini, kita juga melihat  contoh betapa spirit multikulturalisme juga mendapat tempat. Kita bisa melihat semangat  itu dari keragaman latar belakang warna kulit, etnis, kultural, dan bahkan agama para pemain dalam sebuah timnas..Hampir tidak ada satu timnaspun yang pemainya berlatar belakang etnis atau ras yang homogen. Menurut paradigma multikulturalisme, dalam sepak bola-seorang pemain dihargai dan diakui sepakterjangnya bukan berdasarkan warna kulit, tetapi berdasarkan  prestasi dan kemampuannya.

Semangat multikulturalisme juga ingin menghargai keragaman dan perbedaan sebagai rahmat. Simak saja ke 16 peserta Euro 2012, masing-masing tim selalu memiliki pemain berkulit hitam atau bukan murni ras kulit putih khas Eropa.Kita sudah melihat bagaimana pemain bola yang berkulit putih atau hitam ternyata bisa bekerja sama melahirkan kemenangan.Perbedaan warna kulit ternyata bukan merupakan sebuah kutukan.

Multikulturalisme memang bertujuan agar manusia yang beragam dan berbeda bisa menciptakan  kerjasama, kesederajatan dan saling mengapresiasi di dalam sebuah dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.

Unite Againts Racism

Meski demikian, multikultarisme tidak ada artinya jika kita tidak terus melakukan perlawanan lewat jalur humanisasi. Lewat slogan “Katakan tidak pada rasisme”, FIFA sesungguhnya tengah melakukan humanisasi  agar sepakbola menjadi sarana untuk mewujudkan nilai-nilai dan harapan universal umat manusia yang setara derajatnya. Bila hingga Euro kali ini, rasisme belum bisa dikalahkan, kita jangan menyerah.Menurut Presiden Barack Obama, yang kenyang jadi korban rasisme, perjuangan melawan rasisme merupakan  perjuangan panjang.Maka kita harus bersatu melawan rasisme.

Maka di tengah euforia Euro, kalimat Thomas Jefferson di awal tulisan ini bisa dijadikan “warning”. Jangan lupa rasisme juga terjadi di sepak bola kita. Menurut filsuf dan deklarator kemerdekaan Amerika itu, “Manusia diciptakan setara. Mereka juga   dianugerahi Sang Pencipta, hak pasti yang tak boleh dirampas orang lain,  yakni hak akan kehidupan, kebebasan dan kebahagiaan”

No comments: