Monday, June 25, 2012

EURO, KRISIS DAN IRASIONALITAS BOLA


Koran Tempo, Sabtu 23 Juni 2012
Restu Iska Anna Putri, Praktisi Keuangan-Perbankan dan  Bolamania di Balikpapan

Nyaris semua media memblow up perhelatan akbar Euro 2012 atau Piala Eropa yang digelar di Polandia dan Ukraina (8 Juni- 1 Juli 2012). Semua mata, khususnya pecandu bola rela memelototi satu pertandingan ke pertandingan lain, meski harus begadang atau melek malam hari.

Euro 2012 jelas  menjadi suguhan yang siap membebaskan kita dari rutinitas dan  banyak masalah pelik di dalam negri. Mari lupakan kisruh  dua PSSI di level atas persepakbolaan nasional serta fanatisme yang sampai merenggut nyawa di level bawah.  Sejenak gegap gempita perpolitikan kita yang kian memanas menjelang Pilpres-Pileg 2014, juga PilguB DKI terlupakan, karena Piala Eropa. Meski hanya menjadi penonton, serasa kita ikut bermain dan terlibat, tiap kali menonton di televisi.

Mengukir Sejarah

Dengan slogannya “Creating History Together”(“Mengukir Sejarah Bersama”), ajang Euro kali ini sudah mengukir. Sebab sejak digelar pertama kali pada 1960 di Prancis dengan Uni Soviet sebagai juara, ajang empat tahunan ini, digelar di Eropa Tengah dan Timur. Maklum, sebelumnya selalu diselenggarakan di Eropa Barat. Polandia dan Ukraina adalah dua negara yang dulu hidup dalam rezim komunis, tapi kini sudah menjadi negara kapitalis.

Lalu menurut otoritas sepak bola Eropa UEFA, Euro 2012 juga mencetak sejarah, mengingat untuk ketiga kalinya, dihelat bersama oleh dua negara yang saling berdekatan secara gografis. Seperti diketahui, Euro 2000 di Belanda dan Belgia, sedangkan  Euro 2008 di Swiss dan Austria.

Tak heran, Piala Eropa selalu ditunggu. Kini Piala Eropa mungkin hanya kalah bersaing dengan Piala Dunia, yang sudah digelar sejak 1930.Atau mungkin juga ada yang beropini, Euro malah lebih menarik daripada Piala Dunia. Pasalnya para pemain timnas negara yang bermain di ajang Euro, lahir dari liga-liga terbaik di dunia, entah liga Inggris, Spanyol, Italia atau Jerman.

Apalagi dari sisi peserta, jumlahnya juga semakin bertambah. Sejak 1960 hingga 1976, hanya empat negara yang tampil di putaran final setelah lolos dari babak kualifikasi.  Seiring dengan waktu, jumlah peserta putaran final meningkat menjadi delapan pada kurun 1980 hingga 1992. Dan jumlah peserta di putaran final meningkat menjadi 16 tim sejak 1996, sehingga makin meriah (Simak  logo Euro 2012).

Dengan maskotnya Slavek (Polandia) dan Slavko (Ukraina), diharapkan ajang Euro  2012 mampu menyedot lebih dari setengah juta penonton di 8 stadion di 8 kota, serta milyaran penonton tayangan langsung di televisi.

Yang heboh, dari sisi uang yang dibagikan ke 16 peserta, juga tak bisa disebut kecil. Union of European Football Association (UEFA) di bawah presiden Michel Platini menggelontorkan uang yang terbesar sejak 1960, yakni sebesar 196 juta euro atau setara dengan Rp 2,35 trililun. Coba bandingkan dengan dana pembangunan mega proyek untuk sport centre Hambalang sebesar  Rp 1,1175 triliun.

Adapun perinciannya, setiap peserta Euro entah kalah entah menang sudah dijatah 8 juta euro. Jika menang atau draw saja, kocek juga bertamabah. Bayangkan, untuk setiap kemenangan di penyisihan group mendapat 1 juta euro, draw setengah juta euro. Lolos ke perempat final dapat 2 juta euro, lolos ke semifinal dapat lagi 3 juta euro, sedangkan lolos jadi juara meraih 7,5 juta euro. Jadi jika perjalanan sebuah timnas dari babak penyisihan hingga final ada 6 pertandingan, maka total uang yang akan diraih sang kampiun Euro 2012 mencapai 23,5 juta euro arau Rp 282 miliar.

Krisis dan Irasionalitas

Yang mungkin tidak habis pikir bahwa perhelatan akbar Euro kali ini berlangsung di tengah krisis Eropa. Juara Piala Eropa 2008  Spanyol dan salah satu tim yang difavoritkan untuk jadi juara kali ini, tengah terbelit utang yang besar. Menurut laporan Barclays Capital, beban utang Spanyol akan anik dari level 68,5% pada 2011 menjadi 95% pada 2012.Italia, salah satu tim favorit juga di Euro, juga terancam mendapat dana talangan karena utangnya sudah mencapai 1,9 triliun euro.Kemarahan dan ketidakpuasan warga di negara-negara yang dilanda krisis seperti di Portugal dan Irlandia, kian membuncah di dalam dada.

Seperti diketahui akar dari krisis Eropa bermula dari kesalahan desain Uni Moneter Eropa (EMU) yang menggunakan euro sebagai alat tukar mulai 1 Januari 1999 bagi 17 negara anggota ditetapkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang didirikan tahun 1998. Mengingat  terikat pada satu mata uang euro, masing-masing negara anggota jelas tidak bisa  melakukan devaluasi eksternal dengan mengubah nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang asing.

Krisis Eropa  bermula dari Yunani.Yunani memasuki krisis  pada kuartal kedua 2009 dengan kontraksi ekonomi 0,4 persen. Utang nasionalnya mencapai 350 miliar euro, lebih besar dibandingkan dengan penghasilan negara itu. ”Bailout” atau dana talangan tahap I senilai 110-miliar euro pada pertengahan Mei 2010 belum cukup untuk menyelamatkan Yunani dari deraan krisis. Written-off (pemutihan hutang) Yunani yang diusulkanpun masih banyak dipertimbangkan dan belum menghasilkan keputusan berarti. Kini sudah disiapkan ”bail out” tahap II, namun situasi di Yunani masih serba tidak pasti. Salah satu ketidakpastian muncul dari hasil Pemilu 17 Juni 2012, yang mungkin saja  saja menghasilkan pemerintahan baru  yang akan keluar dari zona mata uang Euro.

Maka Uni Eropa terus menekan Yunani agar tetap berkomitmen pada  ”bail out” tahap II atau kelaur dari zona Euro. Bila pemerintah baru Yunani memutuskan  keluar dari  zona euro (Grexit),  efek dominonya akan mengancam kemana-mana. Simak saja dampak dari krisis Eropa sudah membuat ekspor Indonesia turun.

Tidak heran, jika krisis seperti itu membuat sebagian kalangan di Eropa, khususnya yang tidak begitu suka pada sepak bola, tampak sinis pada perhelatan sepak bola Euro. Mereka menilai sungguh tidak bermoral, berpesta di tengah krisis ekonomi.Namun Presiden UEFA Michel berpendapat bahwa sepak bola jangan dicampuradukkan dengan masalah politik dan ekonomi. Bola memiliki hukumnya sendiri, meski harus diakui sepak bola kadang memang irasional.

”Euro 2012 must go on”, tandas Platini, anak imigran asal Italia, yang membela Prancis dan juara pada Piala Eropa 1984.Sementara beberapa pemain dari negara-negara yang dilanda krisis hebat seperti Yunani, Irlandia, Portugal dan Spanyol malah berargumen bahwa Euro bisa menjadi ajang hiburan di tengah krisis.Memang bagi yang berjaya atau meraih kemenangan, apalagi sampai juara, pasti ajang Euro bisa menjadi obat penawar krisis. Tapi bila malah tersingkir atau kalah, termasuk di putaran pertama, sebagaimana dialami Irlandia, jelas rasa sakit akan bertambah pedih.



No comments: