Friday, June 29, 2012

Hidup Tanpa Kemewahan

M Sobary ; Budayawan
Sumber : KOMPAS, 27 Juni 2012



Gagasan mengenai ”hidup tanpa kemewahan” di sini datang tidak dari kenangan akan ”hidup sederhana” yang sloganistik pada zaman Orde Baru.

Keduanya bukan pasangan, bukan pula padanan yang tepat. Hidup sederhana sudah gagal merespons kesenjangan sosial dan pembangunan ekonomi, bahkan tetap menghasilkan golongan elite ekonomi yang mewah dan golongan massa yang merana dalam kemiskinan tak berujung. Hingga sekarang!

Hidup sederhana dulu itu lebih merupakan sikap orang gugup menghadapi kegagalan mekanisme membagi ”kue” pembangunan secara adil. Orang lupa, jalan pintas yang dianggap bijaksana semacam itu terlalu moralistik dan karena itu tak operatif di lapangan. Jadi, membagi secara adil sudah gagal; pilihan politik yang dijadikan jalan keluarnya pun gagal.

Mungkin hal itu catatan penting: yang moralistik, yang tampak megah dan memuaskan hati belum tentu mampu menjawab—dan mungkin memang bukan jawaban—banyak urusan mendasar guna menata hidup kita sehari-hari secara damai dan manusiawi. Pendeknya, ini orientasi nilai yang bersifat serba lintas dan mengesampingkan banyak hal dalam hidup, yang tak membuahkan rasa damai dan sifat manusiawi tadi.

Damai di sini harus dipahami dalam konteks dinamika sosial politik sehari-hari yang kaya akan gejolak lautan kehidupan. Jadi, ia hasil karya manusia dan bukan damai surgawi yang filmnya belum pernah kita lihat. Jelas bahwa damai di sini fana, terbatas, dan tak mungkin sempurna.

Meski begitu, selama manusia tak peduli etnisitas, kebangsaan, dan agama seseorang bisa mene- rimanya dengan baik, itu sudah dianggap memadai. Saya kira, ini cocok dijadikan aspirasi kultural bagi bangsa kita saat ini. Fakta demografis, mungkin juga politis, tentang golongan minoritas yang bisa digertak setiap saat oleh siapa saja dan mayoritas yang selalu merasa memiliki hak istimewa tetap kita catat, tetapi kita lupakan secara bijaksana untuk membangun kehidupan yang damai dan manusiawi tadi. Diperlukan komandan lapangan yang melek siang-malam dan pegang cemeti.

Tanpa Pahlawan

Apakah cemeti tak kontradiktif dengan aspirasi tentang damai dan manusiawi tadi? Tunggu dulu. Cemeti itu kita anggap peneguh cita-cita bersama, bukan penghalang. Selama tak digunakan berlebihan, cemeti bukan cela karena jangan lupa: untuk jadi manusia di dalam dan melalui suatu struktur yang kita biarkan garang dan liar sangat tak mudah. Cemeti diperlukan setidaknya secara simbolis untuk mengurangi sifat garang dan liar itu.

Idealnya memang kelembutan doa-doa, tetapi hal itu hanya tepat untuk kehidupan para biarawan-biarawati yang sudah damai dengan diri mereka sendiri. Dalam kehidupan yang garang, cemeti merupakan ”bahasa” yang lebih dipahami untuk mengingatkan siapa saja yang cenderung ingin lebih berkuasa dan ingin menang sendiri. Bunyi ”cetar...” yang keras merupakan simbol penegas kepada siapa saja bahwa ”kau bukan penguasa”. Dan ”cetar...” lagi yang artinya sama: ”kau pun bukan penguasa”. Dan, komando tertinggi cukup satu orang.

Pemimpin, komandan tadi, melek dan bekerja. Dia tak memihak siapa-siapa, tetapi jelas tegas memihak nilai-nilai. Dia serius menjagokan kedamaian dan kemanusiaan di atas yang lain. Dalam banyak hal, dia bekerja mekanistis, tetapi dalam hal tertentu sangat manusiawi. Dia tak pernah menang, tetapi juga tak pernah kalah.

Dalam hidup yang teratur, yang ”damai” dalam ukuran yang disebut di atas, kalah-menang itu hanya ilusi. Seandainya pun bermakna, kalah-menang tetap bukan orientasi nilai yang kita perjuangkan dan bukan kiblat kehidupan yang kita tuju. Mungkin ini simbol Eropa, yang film-filmnya antihero atau tak dimaksudkan untuk menciptakan ”hero” karena Eropa mungkin tak lagi seremaja Amerika, yang mengutamakan otot Rambo dan sejenisnya untuk jadi pahlawan pujaan. Kita sebaiknya mulai belajar matang dari dalam dan mengutamakan kedamaian agar hidup ini, ya, hidup biasa: tanpa pahlawan.

Masyarakat sebaiknya terdiri atas orang biasa semua yang derajatnya sama luhurnya, sama mulianya, dan setiap pihak berkesalehan teruji: saleh di rumah ibadah, saleh pula di birokrasi dan jalanan liar tanpa tatanan dan tanpa komandan penata.

Dalam masyarakat yang rusuh saat ini, setiap orang, setiap kelompok—apa pun warnanya—diberi tempat di ruang publik secara adil. Dengan begitu, tak ada yang diistimewakan dan dieluelukan seolah-olah pahlawan bangsa serta tak ada yang dibiarkan terbuang. Gejolak sosial, di mana pun, selalu lahir dari kelalaian menata ruang publik yang akomodatif, adil, dan manusiawi tadi. Selama tak ada lagi pihak yang merasa dianggap atau diperlakukan sebagai forgotten allay, gejolak untuk tampil agar kelihatan menangan tak akan muncul.

Risiko politik dari keterbukaan memang edan-edanan. Forum ini forum itu, kelompok ini kelompok itu, aliansi ini aliansi itu bermunculan dengan semangat, seperti kuda lepas dari kandang. Kematangan dan kedewasaan lenyap ditelan hawa nafsu untuk menang atas yang lain. Kemampuan mawas diri—dan dalam hal tertentu perasaan malu—tak ada lagi. Setiap orang, setiap golongan ingin tampil sebagai pemenang.

Sangat banyak pihak yang mendesak-desak pihak lain menjadi pemimpin dengan dukungan palsu dari media dan ahli penata busana, penata cara berbicara, serta cara yang berpura-pura menaruh perhatian kepada pihak lain. Para pemimpin dan calon pemimpin beramai-ramai mengejar kepalsuan: pamor di media. Dan, pamor itu bersifat sepuhan. Tak peduli apa kelak jadinya, yang penting menang. Mereka tak menyadari, kemenangan sejati diukur dari kemampuan membikin rakyat naik ”takhta”, cukup sandang pangan, dan damai. ●

No comments: