Friday, June 22, 2012

Perubahan: Hilangnya Tanah dan Air Indonesia

Mudji Sutrisno ; Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia
Sumber : SINDO, 19 Juni 2012



Pendekatan budaya adalah pendekatan yang melihat dan mengurai realitas masyarakat dari sudut pandang “mentalitas orang”, nilai yang diacu dan dihayati individu atau bersama.

Juga perekat kebersamaan sebagai bangsa yang majemuk suku, agama, dan identitas-identitas subkultur dengan “keikaan” saling mau menghormati, toleransi pada perbedaan, serta hak hidup masing-masing untuk tidak saling mendiskriminasi satu sama lain. Ada dua ciri utama pendekatan ini.Yang pertama, setiap manusia sebagai pemakna kehidupan (baca: homo significans) mempunyai ruang penafsirannya yang rela untuk saling memberi ruang hormat pada tafsir-tafsir sesamanya karena meyakini perbedaan adalah pemerkaya usaha memuliakan hidup.

Ciri pertama ini sudah langsung asimetris (bertolak belakang) dengan pendekatan politik kekuasaan yang mau selalu menjadi pemenang tafsir dan penakluk yang menguasai keragaman. Dalam ciri pertama ini pula, dimuat kesadaran budaya bahwa pada tiap orang (siapa pun itu) memiliki kemampuan kognitif untuk merajut pengetahuan dan teknologi; kemampuan religius untuk menghayati religiositas yang suci dalam religi, kemampuan estetis yang menghayati keindahan hidup secara estetika serta kemampuan untuk menerjemahkan laku baik religiusnya pada alam dan sesama dalam nurani etisnya.

Ciri utama kedua pendekatan budaya adalah kalkulasi (hitung-menghitungnya) berukuran kualitas hidup itu sendiri (baca: kualitatif, artinya aksi dan visi itu akan memperjuangkan kualitas hidup atau menghancurkannya). Secara ringkas, kriterianya adalah mempertanyakan kebijakan atau strategi yang diambil dengan pertanyaan: demi kelangsungan hidup bangsa majemuk Indonesia ini atau menghancurkannya.

Misalnya kebijakan menjual energi dan bahan mineral tambang di saat negara lain berhemat-hemat agar tidak hancur sebagai bangsa? Jadi pendekatan budaya adalah ranah pendekatan menghayati hidup bersama sebagai bangsa majemuk ini menurut cita-cita pendiri bangsa yaitu Indonesia yang sejahtera, majemuk saling menghormati dalam keragaman yang musyawarah untuk mufakat dalam mengusahakan keadaban kemanusiaan, keadilan bersama dibingkai oleh persatuan yang mendasarkan hidup berbangsa pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Memakai pendekatan budaya ini untuk membedah perjalanan bangsa ini dengan pisau analisisnya, maka suka atau tidak suka,mau tidak mau,kita semua harus menerima “perubahan” sebagai yang terjadi dan terus menerus menjadi essensi perkembangan kita. Di ranah nilai sebagai yang berharga dan bermakna dalam hidup, yang diacu oleh orang sendiri maupun bersama telah terjadi 3 perubahan orientasi nilai.

Pertama, perubahan terjadi pada apa yang dipandang sebagai baik, suci, indah dan benar menjadi pergeseran dari yang imateriil ke materiil, dari yang spiritual ke material, dari yang ruh ke yang duniawi. Pada perubahan ini, sejak pendekatan ekonomisasi dan politisasi menafsir pembangunan di era rezim Orde Baru ekstrem ke pembangunan ekonomi dengan kata kunci kemajuan maka pendulum nilai materi, kesejahteraan materi dan uang menjadi acuan utama yang mereduksi nilai-nilai seperti kepedulian sesama, bergotong-royong, rela membantu tanpa imbalan atau pamrih.

Kedua,bergeser berubah pulalah sikap-sikap penghayatan mentalitas hidup sebagai proses (ini nilai pokok proses) menuju nilai yang “instan”, segera, hasil cepat terwujud. Akibat langsungnya adalah meminggirnya dan tidak dihargainya lagi ketekunan dan kesabaran menghayati proses hidup langkah demi langkah dengan keringat usaha dan airmata korban serta darah mengucur sebuah pengorbanan diri yang berharga dan dihayati adalah mentalitas serta sikap jalan pintas. Ingin mendapat hasil segera dan berlimpah dalam tempo sesingkatsingkatnya tanpa mau berkeringat.

Contohnya langsung terpampang mencolok di depan mata sehari-hari yaitu mencontek, merebut harta orang lain dengan kekerasan dan korupsi di mana-mana. Problemnya,ketika orientasi mentalitas sikap menghayati hidup sebagai proses sudah dianut oleh generasi kecil dan muda maka pendekatan budaya dianggap sudah kuno dan ditinggalkan dan baru disadaripentingnya lagisetelah pendekatan-pendekatan ekonomi dan politik tidak mampu memecahkannya.

Ketiga, perubahan dalam bercita-rasa, menikmati hidup enak,materialisasi, muda kaya raya, tua masuk surga sebagai ungkapan gaya hidup menikmati serta kenyataan riil yang oleh Manuel Castells dinamai the real-virtual reality. Ini adalah akibat revolusi teknologi informasi dengan kekuasaan global jejaringnya sehingga yang nyata dan maya bersekutu menyatu dihayati sehari- hari.

Padahal, penyikapan atas kenyataan virtual (maya) dan nyata karena televisi, digitalisasi BB,alat-alat komunikasi elektronik ini sekaligus mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat namun pengendalian nya berada pemilik komoditas pasar melintasi bangsa, mendominasi dan mengontrol konsumsi kita semua. Akibatnya, retak-retaklah relasi kehadiran hati dalam kebersamaan yang dipecah oleh keasyikan masing-masing berkomunikasi dan main “game”di antara generasi “beraksesori gadget” ini.

Di sini perubahan radikal berlangsung dan menantang kita semua dalam pendekatan budaya maya dan nyata di sebuah dunia yang dilipat serta di saat tempo sudah dipadatkan dalam pertanyaan gugatan: siapa aku sebagai subyek sadar penentu makna hidup ini. Dan di manakah aku hidup ketika di saat sedang menyetir mobil di jalanan, kesadaran budi dipecah-pecah untuk sekaligus mau setir sambil telepon, lalu juga menghidupkan musik dan menjawab SMS anak-anak atau teman?

Tiga paparan di atas meskipun padat sebenarnya merupakan kenyataan yang harus diterima lebih dahulu yaitu bahwa perubahan terus berlangsung dan inti hidup adalah memaknai dan menyikapi perubahan- perubahan itu. Sebab, ketika kita “tidak menyikapinya pun sebenarnya itu sudah pilihan pula”. Oleh karena itu ujung tulisan ini sebenarnya menggugat lebih tajam untuk memakai pendekatan budaya ini dalam mengolah perubahan di bangsa tercinta ini sebab di depan mata dan sudah ditulis di koran-koran kritis media televisi kita bahwa perubahan yang paling tega sedang berlangsung adalah: hutan-hutan yang hijau khatulistiwa Kalimantan,

Sumatera dengan ragam kayu-kayunya sudah berubah menjadi perkebunanperkebunan kelapa sawit yang menyedot air tanah dalam jangka panjang hingga pascatanam perkebunan akan membuat tanah tandus! Apa sikap kita? Lebih-lebih lagi di bawah tanah begitu diketahui dan sudah ditambang batu bara, mineral, serta bahan- bahan nikel tembaga lain lalu disedot habis bukan untuk pasal 33 ayat 1-3 konstitusi UUD 1945, lalu apa yang terjadi?
Indonesia akan hilang tanah dan airnya karena budaya maritim laut dan budaya megalitikum darat yang mestinya terus berdialog dalam sejarah peradaban nusantara, antara bumi yang dipijak dan langit yang dijunjung serta berakit-rakit ke hulu dan berenang-renang kemudian (sebagai proses), kini dengan mentalitas hasil pendek dan keserakahan kuasa semakin menghancurkan kita sebagai bangsa.

Kita membutuhkan (?) dan sebenarnya di kebijaksanaan-kebijaksanaan atau kecerdasan- kecerdasan lokal Nusantara sudah lama terus dihayati pendekatan budaya dengan laku dan budi merancang, memetakan, meneliti dan menghayati kearifan-kearifan lokal menuju transformasi yang beradab dari bangsa majemuk ini. Inilah jalan peradaban dan bukan jalan kebiadaban. Artinya apakah perubahan dikelola secara budaya ataukah terus secara tega menghancurkan tanah dan air kita?

No comments: