Friday, June 29, 2012

Neolahabisme dan Korupsi Alquran

M Bashori Muchsin ; Guru besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
Sumber : MEDIA INDONESIA, 26 Juni 2012



SALAH satu `kado istimewa' yang diwariskan Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat di muka bumi, khususnya komunitas muslim, ialah mental militan atau pemberani dalam menghadapi tantangan atau godaan model apa pun demi tegaknya kebenaran, keadilan, kejujuran, dan harkat kemanusiaan yang sudah digariskan Alquran.

Sebagai contoh, saat Nabi giat-giatnya mendakwahkan kebenaran wahyu Allah SWT, datanglah kelompok Abu Lahab (elite kafir Qurays) yang bermaksud menghambat dan menghentikannya. Komunitas Abu Lahab itu tak menginginkan prinsip keadilan dan keadaban yang diajarkan beliau semakin mendapatkan tempat di masyarakat. Demi mencapai maksud tersebut, mereka menawarkan takhta, perempuan, dan kekayaan kepada Nabi.

“Sekalipun matahari, rembulan, dan apa pun di muka bumi ini kalian berikan kepadaku, aku tidak akan berhenti menyuarakan kebenaran, keadilan, dan kejujuran,“ demikian jawab Nabi saat dirayu dan hendak dijinakkan Abu Lahab cs. Itu menunjukkan Nabi telah meletakkan fondasi moral bagi setiap pejuang kebenaran supaya tidak menyerah dan kalah hanya oleh tawaran seperti kompromi politik, dagang kekuasaan, atau bagi-bagi kursi.

Apa yang dilakukan Nabi itu juga berhubungan dengan komitmen pembelaannya terhadap kepentingan masyarakat yang sudah lama terpuruk akibat penindasan dan praktik kebinatangan yang diberlakukan dan ditradisikan komunitas kafir.

Model Kepemimpinan

Jika meneladani apa yang dipraktikkan Nabi, kita setidaknya bisa fokus pada masalah model kepemimpinan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat, yang boleh jadi saat kepemimpinan ini diterapkan, gaya neolahabisme atau penyakit bersumber dari Abu Lahab gaya baru ikut membungkusnya. Neolahabisme bisa saja mengemas dirinya menjadi ranjau-ranjau yang membuat kepentingan rakyat dikalahkan, kebenaran gagal mengalir objektif, dan keadilan terjegal di tengah jalan.

`Tekad bersama untuk mendahulukan kepentingan bersama, masyarakat, bangsa, dan negara di atas kepenttingan pribadi dan golongan sendiri' (samen bundeling van alle krachten van de natie) ialah ungkapan Bung Karno di hadapan rakyat dan pejabat pemerintahan, yang beridealisme membangkitkan rasa nasionalisme, komitmen kebangsaan, dan pencerahan Indonesia, khususnya komitmen pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.

Pesan Bung Karno itu juga mengajarkan, dalam membangun bangsa, setiap orang yang dipercaya menjadi elite percaya menjadi elite negara atau menduduki kursi yang membawa atribut atau identitas suara rakyat idealnya mengutamakan atau mendahulukan komitmen kebangsaan yang ditujukan demi mewujudkan kese jahte raan rakyat, membebaskan rakyat dari kemiskinan, berjuang di garis depan untuk melawan berbagai ancaman asing dan penyakit internal yang cenderung mengoyak Republik menjadi sebuah negeri keropos, dan menyucikan diri sesuci-sucinya agar tidak terjerumus pada kasus dan `kaukus rezim' atau kolaborasi neolahabisme berpola pembenaran korupsi, penodaan keadilan, serta berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Dugaan kasus korupsi pengadaan Alquran, jika terbukti, merupakan wujud neolahabisme yang mengindikasi kan masih berjayanya mental koruptif menghegemoni penguasa negeri ini.

Komunitas elite negara idealnya mampu jadi negarawan seperti Nabi atau bersikap cerdas dan humanistis dalam menunjukkan kapabilitas intelektual-spiritual, kemanusiaan, dan akseptabilitas moral politik mereka guna meninggikan makna tanggung jawab (kewajiban) kepada rakyat dan bukannya memilih jalan sebaliknya, menjadikan rakyat sebagai kendaraan untuk memenuhi `berahi politik' semata, kegilaan jabatan, dan nafsu kapitalistis.

Opsi pembusukan amanat atau pemenangan kebohonganlah yang hingga kini masih ditempuh sebagian elemen negeri ini. Mereka mengemas diri sebagai petualang yang gemar menciptakan peluangpeluang strategis yang membuat mereka jadi selebritas kekuasaan kaya raya atau menempati strata elitis `upper class' yang membuat rakyat jadi penonton merana. Kroni dan kepentingan eksklusif `kaukus politik', misalnya, dijadikan `kepentingan keluarga' yang mereka absolutkan dengan mengalahkan amanat kerakyatan.

Ketika pemimpin terjebak dalam lingkaran pola hidup yang berelasi mutlak pada nilai kebendaan, kedudukan, dan keduniaan, hidupnya niscaya makin teralienasi dari hasrat menjunjung tinggi dan menyejarahkan doktrin kenabian (keagamaan dan ketuhanan). Doktrin agung seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan yang digariskan Alquran akhirnya dijadikan sebagai objek yang dikomoditas sesuai dengan selera dan ambisi-ambisi yang tak kenal titik nadir.

Idealnya, doktrin kebenaran, kejujuran, dan keadilan serta penghormatan terhadap HAM dalam Alquran merupakan cabaran ajaran ketuhanan Cahaya Tuhan yang seharusnya menyinari kegersangan jiwa dan bermanfaat dalam mencerdaskan nalar kemanusiaan (elite kekuasaan) ternyata diredupkan sendiri oleh kegilaan aksi megalomania kepentingan keduniaan, kebendaan, dan kedudukan yang berhasil menjajah atau memperbudak mereka menjadi neolahabisme. Mereka ini terkerangkeng dalam relasi bergaya homo animalis.

Tampilan relasi sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mereka desain hanya mendeskripsikan polarisasi dan ‘pembusukan nilai’ (values decay). Pembusukan itu salah satunya terwujud dengan keberanian mengorupsi pengadaan Alquran.

Dalam tataran serbaneolahabisme itu, komunitas elitis akhirnya hanya mengikuti irama pergumulan yang memuaskan dimensi hedonistis dan oportunistis mereka meski target pemuasan keserakahan itu harus dilakukan dengan meminggirkan dan berusaha mematikan hukum dan etik profesinya. Perburuan tersebut dapat membuat mereka makin `piawai' dalam menggelar konspirasi kriminalisasi yang mendestruksi hak-hak publik, seperti ketenangan, kebersamaan, kesejahteraan, persaudaraan, dan kesatuan hidup berbangsa.

Hilangnya makna keberagaman itu, disebut John Dewey, dapat mengakibatkan manusia-manusia modern menjadi lebih dungu jika dibandingkan dengan manusia primitif dalam menaklukkan diri sendiri. Mereka berlaku seperti busa yang mudah dihempaskan badai kepentingan dunia. Boleh saja manusia modern itu pintar dan cerdas dalam langgam politik dan iptek. Namun bila aktivitas yang mereka kemas, meminjam kata sejarawan Ahmad Amin, sarat dengan `pembangkangan kebenaran' atau lekat dengan kejahatan dan pelanggaran hak rakyat, perilaku mereka tak lebih dari komunitas barbar Abu Lahab cs.

Deskripsi sosok itu cukup dapat terbaca lewat gelora berahi elite kekuasaan yang bergerak tanpa kendali, brutal, menghalalkan kejahatan, sarat kekejian, mengeksploitasi hak-hak sesama, mengabaikan keselamatan publik, menabur kezaliman, serta menghancurkan kredibilitas rakyat dan masa depan mereka.

Mereka itu juga tak mampu menjawab pertanyaan, “Fa aina tadzhabuun (mau apa dan ke mana sesungguhnya Anda hidup)?“ Mereka benar-benar dungu. Meminjam sindiran Allah dalam Alquran, “Wa maa yasy'uruun,“ mereka sungguh tak menyadari dan memahami bahwa Allah-lah yang seharusnya menjadi puncak penggembalaan dan tujuan hidup (QS Al-Baqarah: 9 & 13). ●

No comments: