Monday, June 25, 2012

Piala Eropa, Politik, dan Kita


Burhanuddin Muhtadi ; Pengajar FISIP UIN Jakarta,
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 11 Juni 2012




Perhelatan Piala Eropa 2012 di Polandia dan Ukraina resmi dibuka pada 8 Juni 2012 dengan ditandai laga pembuka tuan rumah Polandia melawan Yunani yang berakhir seri 1-1.

Gemuruh bola yang terjadi di Benua Eropa terasa setrumnya hingga ke Indonesia. Hal itu dimungkinkan oleh gencarnya pemberitaan media massa seputar pertandingan hingga pernak-pernik Piala Eropa, mulai pembukaan hingga pertandingan sejak babak penyisihan di setiap grup sampai babak puncak. Ulasan demi ulasan sebelum dan setelah pertandingan semua ditayangkan televisi.

Sepak bola memang sangat populer, tidak hanya di Nusantara, tapi juga di belahan dunia lainnya. Kemenangan dan kekalahan akan membawa dampak luar biasa. Masih ingat ketika tim Arab Saudi dibantai tanpa ampun oleh Jerman 0-8 di Piala Dunia 2002? `Kekalahan itu sebuah skandal', tulis koran Asharqul Awsath. `Arab Saudi bermain tanpa penyerang, tanpa gelandang, tanpa pertahanan, bahkan tanpa penjaga gawang', demikian tulis koran-koran di negara petrodolar sehari setelah kekalahan memalukan itu.

Setali tiga uang dengan kita. Di sini gairah sepak bola bisa menghipnosis sebagian besar lapisan masyarakat kita. Jangankan pertunjukan sekelas Piala Eropa, pertandingan Liga Primer dan La Liga hingga kompetisi tingkat lokal pun mampu menarik animo publik yang besar. Lihat saja dukungan para suporter terhadap klub-klub lokal kita. Tak jarang mengandung sentimen emosional dan fanatisme membabi buta yang rentan melahirkan holiganisme, bahkan menimbulkan kematian seperti yang terjadi berapa waktu lalu.

Jangan Lupakan

Ingar-bingar Piala Eropa yang berlangsung hingga 1 Juli 2012 tampaknya bakal disyukuri juga oleh politisi yang sedang tertimpa isu kurang sedap terkait dengan masalah korupsi politik. Bagi penggemar sepak bola, Piala Eropa bisa menghilangkan rasa penat dan katalisator dari kepenatan hidup. Namun bagi politisi bermasalah, ajang di Benua Biru itu bisa dijadikan sebagai rehat sejenak untuk mengalihkan sorotan publik atas kasus-kasus yang melilit mereka.

Namun, demi kepentingan bangsa yang lebih luas, publik dan media tak boleh mengendurkan perhatian dari kasus-kasus politik-hukum yang melilit politisi bermasalah. Jangan biarkan mereka bernapas barang sejenak untuk mengalihkan atau bahkan mengonsolidasi taktik lepas dari jeratan kasus-kasus yang mengimpit mereka. Publik harus terus-menerus menolak lupa. Memori publik tidak boleh pendek, apalagi menyangkut isu-isu politik-hukum yang menyangkut hajat hidup banyak orang di negeri ini.

Setidaknya ada beberapa kasus besar yang membetot perhatian publik, tapi hingga kini proses penyelesaian akhirnya masih belum tuntas. Kasus Century masih juga menggantung secara hukum meski secara politik DPR sudah mengetuk palu tanda adanya dugaan pelanggaran dalam pemberian dana talangan sebesar Rp6,7 triliun.

Drama Nazaruddin juga baru agak terlihat juntrungannya dalam kasus Wisma Atlet di Palembang. Kasus-kasus lain seperti korupsi mafia Nazaruddin dan Angelina Sondakh di seputar proyek pengadaan laboratorium di banyak universitas juga belum jelas ujung pangkalnya. Mafia Banggar DPR yang dipicu terkuaknya suap terhadap Wa Ode Nurhayati juga baru melibas sekrup kecil dari jalinan sistematis perampok yang menjarah uang negara.

Kasus Hambalang lebih ironis. Kemenpora dan Komisi X DPR saling melempar tanggung jawab atas dugaan rasuah terhadap proyek triliunan rupiah di Bukit Hambalang. Aneh bin ajaib jika proyek pembangunan Hambalang bisa dibangun tanpa persetujuan DPR. Kasus cek pelawat memang memasuki babak baru dengan penahanan Miranda Goeltom. Namun, publik masih bertanya-tanya mampukah KPK menjerat orang kuat di balik miliaran rupiah yang digelontorkan kepada anggota-anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, dan PPP dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Hal itu belum termasuk kasus moralitas pribadi. Tersebarnya video porno yang diduga melibatkan anggota DPR makin menampar wibawa DPR. Akan tetapi, sang pelaku masih enggan mengakui dan berjiwa besar mundur dari jabatannya.

Deret Ukur

Berkembangbiaknya kasus-kasus korupsi politik makin menegaskan pemberantasan korupsi di negeri ini baru mengikuti deret hitung, padahal modus korupsi dan percepatan tindakan korupsi mengikuti deret ukur. Dengan kata lain, instrumen dan institusi dalam memberantas korupsi seperti KPK tidak sebanding dengan perkembangbiakan korupsi yang memutus urat nadi bangsa dari pusat hingga daerah.

Pada saat yang sama, politisi bermasalah sudah putus urat kemaluan. Mereka enggan mengundurkan diri dari jabatan dan berkukuh menunggu keputusan hukum yang bersifat tetap. Politisi kita lupa bahwa politik bukanlah melulu persoalan hukum formalistis. Politik adalah persepsi. Politik adalah masalah kepercayaan dan legitimasi sosial di mata publik. Seorang tersangka koruptor mungkin bisa selamat dari meja pengadilan, tapi secara sosial dia telah kehilangan kredibilitas di mata masyarakat.

Coba kita bandingkan dengan etika politik di negara lain. Presiden Jerman Christian Wulff beberapa waktu lalu mundur karena sering diberitakan media menerima hadiah sewaktu menjadi pejabat di Negara Bagian Lower Saxony. Mantan Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun malah bunuh diri karena tuduhan media dia menerima suap sebesar ‘hanya’ setara Rp55 miliar. Meski Roh menolak tuduhan itu, isu suap tersebut telah merusak kredibilitasnya hingga pada titik nadir. Lihat juga pejabat negara di ‘Negeri Samurai’ (Jepang). Mereka juga mengundurkan diri jika isu miring mulai menerpa, bukannya malah menunggu proses hukum selesai sambil mencari-cari celah lepas dari jeratan hukum.

Tiadanya budaya malu di kalangan politisi kita plus upaya pemberantasan korupsi yang kurang mendapatkan political will membuat kasus korupsi seperti beranak-pinak. Satu kasus belum selesai ditangani, muncul kasus-kasus berikutnya dengan skala dan tingkat perampokan yang tak kalah besar.

Kita juga sering bersibuk-sibuk ria menghabiskan energi untuk berbicara tentang pemberantasan korupsi pada hilirnya, tapi kurang memberi perhatian pada pemberantasan korupsi di hulunya.

Hulu korupsi, menurut Klitgaard, merupakan monopoli kekuasaan (monopoly of power), ditambah diskresi pejabat (discretion of official) tanpa diikuti pengawasan memadai (minus account ability) akan mendorong terjadinya korupsi. Partai merupakan hulu dan sumber korupsi karena memiliki banyak peran strategis dalam menentukan hitam-putihnya negara, tapi tidak diikuti dengan instrumen yang memadai untuk mencegah korupsi politik yang melibatkan partai. Makin krusialnya kewenangan partai tidak diikuti dengan transparansi sumber pendanaan partai. Partai memerlukan dana besar untuk memenuhi kebutuhan campaign finance dan party finance.

Besarnya dana yang dibutuhkan partai tidak sebanding dengan sumber penerimaan yang dibolehkan menurut aturan. Menurut UU, ada tiga sumber keuangan partai: iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan negara. Pada praktiknya, iuran anggota tidak berjalan secara maksimal. Partai lebih banyak bergantung pada `belas kasihan' sumbangan pihak ketiga, baik perorangan maupun perusahaan.

Anehnya, DPR malah membuka ruang ketergantungan yang makin besar dari pihak ketiga dengan menyetujui Revisi UU Partai Politik yang menaikkan batas atas sumbangan partai dari perusahaan hingga Rp7,5 miliar. DPR juga tidak mengatur pembatasan pengeluaran kampanye dan iklan dalam Revisi UU Pemilu. Lahirlah sistem politik berbiaya mahal, tanpa diikuti transparansi dan akuntabilitas serta reformasi pendanaan partai.

Akibatnya, proyek-proyek di pos-pos kementerian menjadi ajang `penjarahan', belum lagi ratusan BUMN dengan aset ribuan triliun rupiah yang membuat air liur politisi jahat terus menetes.

Semoga di tengah gegap-gempita Piala Eropa di Polandia dan Ukraina kita tidak melupakan sengkarut kasus-kasus korupsi politik yang terjadi di depan mata. Jangan biarkan politisi bermasalah menghirup napas lega barang sejenak karena kasus mereka tertimpa hiruk-pikuk perhelatan sepak bola di Eropa.

No comments: