Monday, June 25, 2012

Kolom Sindhunata: Belanda Melawan Egoisme Diri

SEKARANG jaranglah kesempatan untuk menyaksikan sepak bola dalam formatnya yang paling murni. Namun, masih adakah memang format sepak bola demikian? Ada, kata Franz Beckenbauer, dan itu adalah pertandingan Jerman melawan Belanda.

Ketika sudah menjadi bisnis global, bola memang tidak seintens dulu mengungkapkan naluri-naluri persaingan primordial, ketegangan kultural dan historis, yang berada di luar bola tetapi selalu melekat pada bola. Namun begitu Belanda bertemu Jerman, naluri-naluri itu spontan menyerbu bola.

Lebih-lebih bagi pemain Belanda, betapa pun mereka berusaha untuk bermain seprofesional mungkin, kepala mereka tetap disergap pelbagai beban masa lalu di luar bola, seperti agresi dan kekejaman Nazi yang membuat mereka menderita. Perasaan minder terhadap Jerman sebagai negara tetangga yang mereka anggap arogan. Dan tentu saja, rasa jengkel yang tak pernah hilang ketika di final Piala Dunia 1974 Jerman jadi juara, sementara dengan total football-nya yang fantastis, mereka hanya jadi runner-up.

Kebencian terpendam itu terungkap misalnya dalam ulah kiper Belanda, Hans van Breukelen, ketika berhadapan dengan Jerman di perdelapan final Piala Dunia 1990. Ia mengumpat dan menuding Rudi Voeller. Karena kelakuannya itu, Van Breukelen dicap sebagai ”pembenci Jerman”. Belakangan ia mengakui kesalahannya terang- terangan. ”Seperti Rudi, kami pun ingin menang, dan itu kami kerjakan dengan segala cara. Ketika saya lihat kembali ulah saya di televisi, saya sungguh malu, dan itu saya sesali sampai sekarang,” kata Van Breukelen.

Memang Belanda lawan Jerman selalu menegangkan, juga dalam pertandingan malam nanti. Jerman waswas. Namun lebih dari Jerman, Belanda sungguh cemas. Maklum, di luar dugaan, mereka diempaskan Denmark 0-1 kendati mereka menggedor Denmark habis-habisan. Mereka sendiri seakan tak tahu, mengapa bisa kalah.

”Saya seperti mendarat dalam sebuah film yang buruk. Berulang kali kami mendapat peluang emas, toh kami tidak menang,” kata Arjen Robben. Robben gagal dan dituduh ”membawa nasib sial Bayern ke tim Belanda”. Maklum, sampai ke Piala Eropa 2012, Robben belum terlepas dari trauma kegagalan mengeksekusi penalti, hingga akhirnya Bayern kalah di final Liga Champions melawan Chelsea tahun ini.

Malam itu Belanda kelihatan bermain lebih baik daripada Denmark, tetapi kalah. ”Saya lebih suka menang walau bermain jelek,” kata Van Bommel jengkel.

Frustrasi dan kejengkelan di atas justru mengungkapkan problem dasariah yang selalu menyertai Belanda selama ini. Belanda mempunyai pemain-pemain hebat yang dapat melakukan segala-galanya, tetapi lebih- lebih dalam menyerang, mereka selalu sulit untuk menyatu. Maka benarlah tuduhan, pemain Belanda tak bisa melepaskan diri dari egoismenya, justru karena saking hebatnya mereka.

Di Bayern Muenchen, Robben juga dikenal egois dalam bermain. Dalam Piala Eropa kali ini, ia coba melepaskan diri dari hantu egoismenya. Ketika ia berada pada posisi yang amat tepat, dan seharusnya menceploskan sendiri bola ke gawang Denmark, ia malah mengumpankannya kepada Wesley Sneijder. Gagallah Belanda mencetak gol. ”Itu karena kepala saya dihinggapi tuduhan egoisme dan saya berusaha untuk bebas darinya,” kata Robben.

Ketika terus gagal, dan frustrasi makin memuncak, pemain Belanda makin terbekap egoisme mereka. Robin van Persie, Ibrahim Affellay, Sneijder, bahkan Van Bommel dan Robben berusaha menembakkan sendiri-sendiri bola ke gawang lawan tanpa berpikir bahwa rekannya mungkin lebih berpeluang untuk mencetak gol.

Kalau kekurangan tadi bisa dikalahkan, Belanda mungkin akan menang. ”Jerman mempunyai pemain-pemain hebat. Namun, jika dilihat melulu dari kualitas individual, kami lebih baik. Ya, tetapi bola adalah permainan kolektif. Jika kami dapat bermain kolektif malam ini, kami yakin dapat mengalahkan mereka,” kata Robben, pemain yang paling ditakuti oleh kapten Jerman, Phillips Lahm.

Pelatih Jerman Joachim Loew sendiri lebih senang bila Belanda tidak dikalahkan Denmark. ”Saya lebih suka Belanda dan Denmark bermain seri. Belanda adalah tim kuat dan mereka harus menang atas kami. Bagi mereka, sekarang adalah semuanya atau tidak sama sekali. Itu tentu tantangan yang berat buat kami,” kata Loew.

Loew patut waswas. Sebab, ketika menang 1-0 atas Portugal, anak-anaknya belum memperlihatkan kehebatan seperti yang didengung-dengungkan.

”Dalam bola hanya adanya tiang gawang saja yang tidak pernah kami perhitungkan,” begitu tulis harian A Bola di Portugal. Jelas, komentar itu meratapi nasib sial Portugal ketika tendangan Pepe dan Nani membentur gawang Jerman.

Jerman diuntungkan oleh nasib. Dan Belanda dirugikan oleh nasib pula. Jika itu memang benar, nanti malam, keduanya harus membuktikan bahwa nasib tidak boleh lagi menjadi penentu dalam bola. Mereka harus menunjukkan bahwa bola bisa mengatasi nasib.

No comments: