Friday, June 22, 2012

Siapa yang Intoleran?


Wurianto Saksomo ; Alumni FH UGM dan PNS di Pemkab Ngawi
SUMBER :  REPUBLIKA, 12 Juni 2012





Victor Silaen, dosen FISIP Universitas Pelita Hara pan, dalam opininya di Sinar Harapan, 29 Mei 012, mengemukakan ke heranannya atas klaim Menteri Agama bahwa Indonesia adalah negara yang paling toleran. Menurutnya, merujuk data dari beberapa lembaga dan LSM, toleransi di negara ini masih jauh panggang dari api.

Beberapa data dalam tulisan yang berjudul “Negara Paling Toleran di Dunia?“ itu menyebutkan, sepanjang 2010 setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Selama 2011, insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia hampir berlipat ganda. Data-data yang dikemukakan merujuk pada laporan PGI, Compass Direct, dan the Wahid Institute.
Apa yang menarik dari tulisan di atas serta data-data intoleransi yang disertakan di dalamnya? Asumsi apa yang lahir di benak dengan membaca sebuah opini itu?

Sepertinya, pelaku utamanya adalah umat Islam dan korbannya adalah umat Nasrani. Oleh karena itu, perlu ada upaya kritis terhadap tulisan tersebut.

Pertama, perilaku intoleransi selalu saja disematkan kepada umat Islam, baik itu dalam pemberitaan media maupun opini, baik itu dinyatakan secara langsung maupun tak langsung, seperti pula dalam tulisan Victor. Memang di sini tidak secara langsung umat Islam menjadi tertuduh, tetapi jamak diketahui sasaran tembaknya adalah umat Islam. Sedangkan, di sisi lain, umat Nasranilah sebagai korban intoleransi. Korban kekerasan atas nama agama. Korban penderita.

Apakah data di atas turut pula memasukkan umat Islam yang menjadi korban, terutama dari perilaku umat non-Islam? Adakah angka yang menunjukkan seberapa besar umat Islam yang menjadi korban kekerasan dari umat beragama lain dalam kaitannya dengan kebebasan melaksanakan ibadah? Saya rasa tidak. Intoleransi atau kekerasan atau apalah namanya hanya menempatkan umat Islam sebagai subjek pelaku, bukan objek penderita.

Kedua, dengan angka sekian ratus yang diklaim sebagai angka terjadinya intoleransi (terhadap umat Nasrani) menjadikan negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini menjadi negara yang tergugat toleransinya. Dengan kata lain, umat Islam sebagai kaum mayoritas dinilai gagal menjamin toleransi terhadap umat nonIslam, khususnya Nasrani.

Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, data pembangunan rumah ibadah dari 1977 hingga 2004 menyebutkan, gereja Kristen dari 18.977 buah menjadi 43.909 buah (naik 131,38 persen). Gereja Katolik dari 4.934 menjadi 12.473 (naik 152,8 persen). Pura Hindu dari 4.247 menjadi 24.431 (naik 475,25 persen) dan wihara Buddha dari 1.523 menjadi 7.129 (naik 368,09 persen).

Tidakkah angka ini menunjukkan betapa besar kebebasan beragama (dan beribadah serta membangun tempat peribadatan) diberikan dibandingkan (katakanlah) penyegelan beberapa tempat ibadah umat Nasrani yang memang bermasalah.

Ketiga, benturan umat beragama yang paling sering terjadi di Indonesia adalah antara umat Islam dan Nasrani. Anehnya, jarang bahkan hampir tidak ada benturan antara umat Islam dan umat Buddha serta Hindu. Kalaupun ada, itu tidak dilandasi karena alasan agama.

Kalau memang umat Islam (dianggap) tidak toleran, seharusnya terhadap umat agama lain juga mendapatkan perlakuan yang sama. Namun, ternyata tidak. Mengapa hanya dengan umat Nasrani di Indonesia saja umat Islam berbenturan? Semestinya, pertanyaan ini dijawab dengan jujur, tidak hanya untuk umat Islam.

Keempat, peristiwa penutupan/penyegelan gereja dan kekerasan terhadap sebagian umat Nasrani merupakan efek saja. Itu hanya akibat. Ada sebab utama yang sayangnya tak pernah diungkap, terutama oleh media. Menurut umat Islam, ada kecurigaan yang teramat mendalam atas proyek kristenisasi. Ini bukanlah mitos, tetapi realitas. Akan tetapi, terus saja banyak pihak yang menutup-nutupi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran. Tentu saja, ini sebatas pada hubungan kemanusiaan. Hubungan sosial kemasyarakatan.

Sedangkan dari segi akidah, ada garis batas tegas sesuai petunjuk Allah dalam QS al-Kafirun, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku!“ Silakan saja umat dari agama lain untuk beribadah seluas-luasnya. Namun, kebebasan ini bukanlah kebebasan yang menyakiti umat beragama lain.

Tak akan ada asap tanpa adanya api. Kalaupun ada reaksi penyegelan tempat ibadah, berarti ada aksi yang mendahului. Umat Islam bukanlah umat yang suka mencari gara-gara. Mereka tak akan menyakiti bila tak disakiti. Kalau tahu betapa sakitnya disakiti, janganlah coba-coba menyakiti.

Dalam bangsa yang majemuk ini memang sangat perlu adanya sikap toleran, yang mayoritas menghormati yang minoritas, yang minoritas menghargai yang mayoritas. Kemudian, yang mayoritas menyayangi yang minoritas, yang minoritas mengasihi yang mayoritas. Tanpa itu, pecahlah keutuhan negeri ini. Amat lucu kalau sesama penganut agama memecah belah persatuan.

Dulu pada awal kemerdekaan, umat Islam merelakan dasar negara bukanlah Islam. Konon, kabarnya ada tokoh-tokoh dari Indonesia timur yang mengancam keluar dari Indonesia jika dasar negara adalah Islam. Lalu, pencoretan kata-kata, “... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya“ pada sila pertama Pancasila menunjukkan betapa besar rasa toleran umat Islam.

Jadi, siapa yang sebenarnya tidak toleran? Siapa yang menyebabkan terjadinya intoleransi? Siapa yang menyebabkan munculnya kekerasan atas nama agama?

No comments: