Tuesday, May 29, 2012

Menelusuri Sifat-Sifat Negatif Kita

Mudji Sutrisno SJ ; Budayawan, Guru Besar STF Driyarkara dan Universitas Indonesia
SUMBER : SINDO, 29 Mei 2012

Kalau kita perhatikan, sifat-sifat negatif kita sudah mengisi berbagai ruang aktivitas kita sehari-hari. Ada beberapa contoh fenomena sifat negatif yang biasa kita temui, misalnya: Pertama, usil dan resek.

Kita suka memperhatikan orang lain dan mau masuk ke urusannya dengan komentar gratis. Misalnya di bandara seorang resepsionis ruang makan GFF berkomentar, “Lho kan baru take off siang, mengapa sudah datang pagi-pagi?” Dalam batin saya, “Suka-suka saya kan,kok usil?” Kedua, bila di depan kita (para lelaki yang sedang duduk-duduk) lewatlah perempuan cantik, mulailah “siulan”, komentar-komentar keluar apalagi celetukan-celetukan mengilas fisik wajah dan lain-lain.

Padahal di negara lain saya tidak menjumpai itu karena edukasi untuk hormat ke orang lain seperti di Filipina atau Eropa Utara. Ketiga, komentar-komentar gratis menyangkut dandanan, rambut, cara berjalan yang menjadikan orang lain sebagai “objek” percakapan. Sementara di peradaban lain orang mengisi waktu tunggunya dengan membaca buku atau laptop dan kini Ipad membuat si pelaku sibuk dengan kerjanya sendiri dan bukan mengobjekkan yang lain.

Keempat, “Wah, apa kabar? Kok gemuk ya kini, apa jarang olahraga?” Coba Anda amati kata per kata rangkaian kalimatnya. Awalnya sapaan, namun ujung-ujungnya mengomentari keadaan tubuh yang sebenarnya bukan menjadi urusannya. Kelima, “Aduh anakmu cakep sekali,” lalu dicubitlah pipi anak dengan gemas sampai merah.

Waktu saya bertemu satu keluarga separuh Indonesia dan separuh Amerika, si anak yang Indonesia benar-benar marah ketika sapaan akrab itu melukai pipinya dengan cubitan dan inilah yang sudah digolongkan tindak harassment ringan. Si anak berkisah traumatik bila bertemu tipe-tipe orang seperti ini. Ia trauma lantaran ungkapan kagum disertai cubitan yang melukai wajahnya.

Mengamati fenomena-fenomena di atas, kami pernah menaruhnya dalam bingkai diskusi behaviorist (sudut pandang perilaku) dan mengontraskan tiadanya garis batas kesadaran antara mana wilayah pribadi dan wilayah publik. Barangkali karena hormat pada ruang privat dan privilese seseorang dalam masyarakat kolektif memang tidak ada, orang tidak merasa aneh “keluar masuk” ke wilayah-wilayah pribadi sesamanya karena semuanya merupakan wilayah umum.

Berikutnya, di balik ungkapan- ungkapan di atas sebenarnya secara positif terungkaplah perhatian atau sikap mau peduli pada kehadiran orang lain. Hanya, ungkapannya ikut campur masuk ruang pribadi orang lain. Ketika budaya masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan atau kolektivitas bertemu budaya yang menjunjung individualitas,di situ orang individual akan “tajam” mengkritik sok ingin tahu dan ingin campur tangannya ke wilayah personal orang.

Ketika dosen memberi tahu nilai mahasiswa dengan mengundangnya ke depan melihat daftar nama dan nilainya, sang dosen yang menjunjung ruang pribadi akan menegur si mahasiswa bila sambil melihat nilainya sendiri juga ingin melihat-lihat dan ingin tahu nilai-nilai temannya. Sebab, inilah “pelanggaran” batas antara yang disebut pribadi dan publik. Memasuki secara sadar ke ruang pribadi sesamanya dianggap dan dinilai tidak sopan dan tidak pantas.

Komunitas Kebersamaan

Manakah ciri-ciri komunitas kebersamaan? Pertama, nilai bersama seperti harmoni,rukun dipandang mengatasi dan lebih tinggi, dan harus dihayati daripada pribadi. Kedua, seseorang dalam komunitas kebersamaan merupakan subordinat atau bagian kolektivitas itu. Ketiga, individu “kalah” terhadap kebersamaan, perilaku keluar dari kotak bersama dipandang aneh dan dijadikan objek pergunjingan.

Sanksi juga dikenakan ke mereka yang keluar garis yang perlu “dinormalkan”. Atas dasar ciri-ciri dua komunitas itu, dua dekade yang lalu F Tonnies secara sosiologis-antropologis membagi ada dua macam komunitas yaitu masyarakat atau society yang lebih rasional dengan nama “gesselschaft” sedangkan yang kedua adalah kekerabatan kolektif yaitu “gemeinschaft”.

Almarhum Dr Matulada menggarisbawahi dalam penelitiannya mengenai suku-suku Nusantara bahwa kekerabatan atau perkaumanlah yang menjadi perekat hidup bersama sebagai sesama anggota perkauman. Ada perkauman saudara-i sepayung ketika payung marga dan kaum menjadi perekat dan pusat nilai kebersamaan. Ada pula perkauman bahari dan lautan yang menguji pemimpinnya di saat-saat krisis menakhodai perahu menghadapi gelombang badai.

Perkauman bahari melakukan uji nyata pemilihan ketuanya berdasar kualitas watak karakter dan kemahirannya menjadi nakhoda kapal. Kekerabatan yang legitimasi ketua atau tingkatan yang dituakan disumberkan pada “wahyu keturunan dari yang di langit” akan menghasilkan klan atau kekerabatan hierarkis seperti kekerabatan Jawa misalnya. Konsekuensinya kekeluargaan Jawa yang awalnya dari tradisi keraton dengan kekuasaan tertinggi di tangan raja sebagai “dewa raja” tidak akan menghasilkan relasi setara antara raja dan bawahan.

Maka ekspresinya juga berkata kunci relasi “Gusti” dengan “kawula” (menghamba atau hidup menjadi abdi raja). Sadarkah kita pada pencipta slogan pegawai negeri sebagai abdi negara memuat pengabdian pada negara yang menggaji dan bukan pada warga negara atau rakyat yang semestinya mereka abdi. Karena pajak dan rakyatlah yang “memilih negara” sehingga slogan itu harus diganti menjadi abdi rakyat atau pelayan masyarakat!

Kesadaran Diri

Pokok-pokok renungan di depan sebenarnya menjawab pertanyaan kritis kita bahwa kita memerlukan pendidikan kesadaran mengenai siapa diri kita dalam transisi kekerabatan menuju ke harkat sebagai warga negara. Tanpa itu, kesadaran akan hak sama kedudukannya di depan hukum akan berjalan lambat dalam dinamika hormat menghormati atas dasar kesetaraan sama-sama berharkat sebagai manusia dalam saling berelasi antarsesama.

Permenungan di depan yang membukakan mata sadar kita bahwa bawah sadar kultural kita ini memang memuat ketiadaan hormat antara ruang pribadi dan ruang publik. Karena kita umumnya masih mengedepankan kolektivitas bahkan beberapa gerombolan yang bila terlukai sebagai anggota korps lalu hasrat liar membalas dendam akan meruyak tega berpegang hukum naluri rimba: ”mata harus diganti mata dan gigi diganti gigi apalagi bila yang hilang adalah nyawa”.

Lebih halus, namun membuat jengkel mengenai tidak ada batas hormat ruang pribadi dan ruang publik selalu terbukti pada iklan-iklan SMS menawari berbagai hal yang masuk ke ponsel Anda tidak mengenal waktu.Ada pertanyaan mereka ini mendapatkan nomor-nomor ponsel kita dari mana? Providerkah? Dan lucu serta lebih menjengkelkan lagi setelah masuk ke SMS kita di saat waktu-waktu pribadi kita diganggu benar-benar, di situ ditulis kalimat “maaf mengganggu”.

Sejak kapan kata suci maaf yang awalnya benar-benar bermakna rekonsiliatif serius kini jadi hampa makna dan dipakai sembarangan? Jawabnya sejak uang dan materi, sejak pembangunan ekonomisasi menjadi tuan dan raja yang disembah mengalahkan yang spirit seperti nilai peduli kegotong-royongan, rela membantu tulus.

Di tengah-tengah transisi dari identitas kolektif menuju pribadi yang ingin tetap hormat ke harkat sesama dan toh matang pribadi kunci proses pergulatan antara kesadaran akan ruang pribadi dan kolektivitas memang berada di ranah yang selama ini mengalami krisis yaitu ranah pendidikan.

Pendidikan pemerdekaan setelah merdeka sebagai bangsa lalu tanpa edukasi diri dan kontrol diri maka sia-sialah perjalanan kebangkitan bangsa ini.Pada hal justru ranah kunci edukasi watak dan nurani inilah sejak awal oleh para pendiri bangsa sudah disadar-sadarkan untuk dihayati sabar dan bukan jalan pintas sebagai proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Hanya manusia Indonesia yang sampai tahap cerdas budi dan jernih nuranilah bisa diharapkan bersama sesama anak bangsa mencipta hidup bersama yang lebih baik. Bukankah sistem adalah mengatur dengan budi cerdas dan nurani sebuah kehidupan untuk lebih sejahtera pribadi dan bersama? (A system is a rational ordering of living together by the enlightened and good gentleman and women of Indonesia).

Proses Menghargai

Ketika saya menulis tulisan berjudul menghargai proses, ada dua tanggapan kritis sebagai arusnya.Yang satu bertanya, bagaimana mungkin menghayati hidup sebagai sebuah proses transformasi dengan simbol tahap ulat sutera menjadi kepompong dengan air liurnya yang merajut kepompong (nanti jadi bahan benang tenun sutera) sampai fase puncak menjadi kupu-kupu berwarna? Sementara hidup sehari- hari anak-anak dan kita didominasi oleh nilai-nilai jalan pintas, “instan”, serbacepat, dan yang cepat kilat itulah nilainya?

Arus kedua menanyakan “resep” menghayati hidup sebagai proses itu bagaimana? Karena itulah, maksud utama tulisan ini awalnya adalah tanggapan atas pertanyaan kritis dan kecenderungan mencari “obat mujarab”atau resep tersebut. Pertama-tama yang harus masuk ke dalam kesadaran kita adalah pengiyaan atau sikap sadari dahulu bahwa fakta yang ada adalah saat ini yang dihargai bukan nilai tekun sabar dalam proses, tetapi jalan nilai pintas.

Kursus kilat dan lompatan sukses “terwujud” dalam tempo sesingkat-singkatnya. Setelah mau dengan rendah hati mengakui fakta ini dan menyadarinya lalu terbukalah mata kita pada fakta kedua yaitu sulitnya antarkita untuk saling menghargai sesama dengan kelebihan dan kekurangannya. Gejala pertama, kita menghargai sesama secara negatif. Artinya mengecilkan sesama dengan membesarkan diri kita (looking down other by glorifying myself).

Para pendiri bangsa menunjuk sindrom ini sebagai perasaan rendah diri inlander akibat penjajahan dalam sejarah mentalitas dan kolonialisme. Peneliti kultural Edward Said dan Hommi Bhabha menyebut fenomena “poskolonialisme” yang diidap sebagai sikap hidup yang merasa yang putih dengan simbol kemajuan bule selalu dipersepsi lebih hebat. Contoh nyata, padahal kita punya dongeng-dongeng lokal dan pepatah peribahasa mengenai yang baik, benar, dan suci dalam hidup ini,namun selalu menganggap kisah-kisah putri salju dan Hans Andersen lebih hebat.

Padahal cukup bila kita matang berpendapat bahwa kisah-kisah Andersen memang bagus, namun tidak usah ditambahi bahwa lebih hebat dan lebih tinggi (superior) nilainya. Di sinilah “inferior” berhadapan dengan “superior”. Kedua, proses menghargai hendaknya ditanamdandibatinkan dengan menghormati talenta tiap orang,sisi positifnya, serta sisi negatifnya apa adanya, setara dengan adanya keutamaan dan kekurangan diri kita masing-masing.

Lanjutannya, rajutlah dengan darah teladan dan keringat contoh-contoh menghargai proses hidup yang sabar: dikandung dalam rahim sembilan bulan menjadi bayi, anak, remaja, matang dewasa, sampai kakek-nenek yang siap kembali untuk dipanggil sang pencipta. Proses ini seperti berdarahdarahnya dan berkeringatnya membatik tulis (bukan batik cap atau printing).

Proses ini juga butuh dihargai seperti merajut kain ulos,ikat,kain tenun, dan songket yang butuh ketelitian merajut benang-benang warna-warni menjadi kain indah Lembang. Kemajemukan Indonesia dengan pluralitas khas suku,religi,dan identitasidentitas lokal lain. Yang ketiga,menghargai proses butuh pembatinan melalui senandung lagu,renung nyanyian Belaian Sayang ciptaan almarhum Bing Slamet yang menggores hati,

menunjuk kasih sayang cinta ayah, ibulah yang menamakan ingatan anak akan terima kasihnya kepada ayah-bunda dan bunda-rahimnya yaitu Bumi Pertiwi,Tumpah Darah Tanah Pusaka. Lihatlah lirik-lirik puisi lagu Belaian Sayang itu “Waktu hujan turun, rintik perlahan,bintang pun menyepi awan menebal,kutimang si buyung belaian sayang.Anakku seorang, tidurlah tidur..... // Ibu mendoa .... ayah menjaga. Agar kau kelak jujur melangkah. Jangan engkau lupa tanah pusaka tanah air kita Indonesia.”

Kontrol Budi dan Nurani

Akhirnya menghargai proses adalah keberanian mengolah dengan kontrol budi dan nurani sikap senang-tidak senang dengan kebijaksanaan hidup yaitu, bila kau tidak suka karya sesama dalam wujudbuku atau film karyanya,ya tidak usah melihatnya atau tidak perlu membacanya. Namun, sekali-kali jangan ”menghina” karya itu dengan melemparkannya ke keranjang sampah.

Apa yang terjadi dalam batin Anda ketika tidak pernah belajar menghargai sesama? Arogansi dan kesombongan pintar Andakah? Mengapa tidak membalasnya dengan membuat karya buku untuk apresiasinya? Apalagi bila karya dilawan dengan pembalasan buku! Untunglah era ini sudah menyurut soal bakar membakar buku.Namun, muncul gejala intoleransi lebih gawat lantaran meminjam tangan Allah dan menyitir sabda-sabda suci yang pada ujung-ujungnya mengapa tega menghancurkan hidup sesama bahkan menghilangkan nyawanya?

Intoleransi akan menggugat pesan cinta religi dan mempertanyakan bagaimana wajah kasih apalagi Allah Yang Maharahim diwujudi nyata dalam tindak dan laku manusiawi? Kalau bukan mencoba belajar terus menghormati sesama sebagai wakil Allah di dunia dan sebagai citra gambar-Nya sendiri.

Semogapembelajaranmenghargai proses sama dengan tantangan ikhtiar sabarnya dengan ketika kita di ruang gawat darurat dengan penuh ditancapi selang-selang infus bila berhadapan bahwa yang diinfus adalah anak tercinta kita yang masih bayi. Lalu kita mohon ke Allah agar kita saja yang menggantikannya untuk kesakitan dan deritanya. Bisakah? Doa dan hening prihatin adalah oase pembelajaran toleransi kita pada yang “hidup” ciptaan Allah. ●



No comments: