Wednesday, May 30, 2012

Negara Paling Toleran di Dunia?

Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
SUMBER : SINAR HARAPAN, 29 Mei 2012




Saya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala membaca berita berjudul “LSM Imparsial: Menag Putar Balikkan Fakta Intoleransi”, pada situs berita www.kbr68h.com, 27 Mei lalu.

Tertulis dalam berita tersebut, LSM Pemantau Hak Asasi Manusia Imparsial menilai Menteri Agama Suryadharma Ali memutarbalikkan fakta soal kerukunan umat beragama di Indonesia. Hal itu menyusul pernyataan Suryadharma Ali yang mengklaim Indonesia sebagai negara paling toleran di dunia.

Peneliti Imparsial Swandaru mengatakan pernyataan Menteri Agama itu sangat bertolak belakang dengan kekerasan yang sering dilakukan kelompok intoleran.

“Artinya, ukuran yang digunakan oleh Menteri adalah Presiden datang di setiap perayaan. Sementara itu, fakta yang terjadi, kekerasan begitu banyak di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa tidak ada semacam sense of crisis yang dimiliki menteri bahwa sudah ada begitu banyak orang mati, begitu banyak orang harus meninggalkan rumahnya, meninggalkan rumahnya kehilangan harta bendanya karena pemerintah gagal memberikan perlindungan.”

Sebelumnya Menteri Agama Suryadharma Ali mengklaim Indonesia sebagai negara dengan toleransi tertinggi di dunia. Menurutnya, kehadiran dirinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono dalam setiap perayaan hari besar keagamaan di Indonesia merupakan bentuk kerukunan umat beragama.

Suryadharma juga menyayangkan tindakan sejumlah LSM yang melaporkan kasus kekerasan oleh kelompok intoleran di Indonesia ke sidang Dewan HAM PBB. Menurutnya hal tersebut memperburuk citra pemerintah di dunia internasional.

Jumlah Meningkat

Melalui tulisan ini saya ingin memberikan catatan terhadap pernyataan dan klaim Menag Suryadharma Ali tersebut. Pertama, apakah kementerian yang dipimpin Suryadharma Ali tak punya data tentang berapa banyak rumah ibadah yang dirusak/ditutup paksa setiap tahun?

Kalau begitu izinkanlah saya memaparkan data tersebut. Di era Presiden Soekarno, ada dua gereja yang dirusak/ditutup paksa. Selanjutnya, di era Soeharto ada 456, di era BJ Habibie ada 156, di era Abdurrahman Wahid ada 232, di era Megawati Soekarnoputri ada 92, sedangkan di era Susilo Bambang Yudhoyono ada 108 (sampai tahun 2007).

Itu baru rumah ibadah milik umat Kristen, belum lagi milik umat beragama lainnya seperti Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Yang jelas, fakta bicara bahwa praktik kekerasan dengan mengatasnamakan agama dalam beberapa tahun terakhir ini meningkat. Penyebabnya?

Pertama, akibat absennya pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara tegas. Kedua, adanya kecenderungan meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat. Terkait itulah maka kelompok-kelompok sipil berbasis agama diminta untuk mengambil tindakan yang tidak memberi toleransi kepada kelompok-kelompok yang selalu mengatasnamakan agama tertentu untuk melakukan kekerasan.

Tentang hal itu, Moderate Muslim Society (MMS) menilai bahwa tahun 2010 sebagai tahun kelam kebebasan beragama di Indonesia. Sepanjang tahun 2010, setidaknya terjadi 81 kasus intoleransi. Ketua MMS Zuhairi Misrawi mengatakan, Provinsi Jawa Barat perlu mendapat perhatian khusus karena lebih dari separuh kasus intoleransi di Indonesia meledak di daerah tersebut.

MMS mencatat, 49 kasus intoleransi, atau 61 persen dari keseluruhan kasus, berlangsung di Jawa Barat. Dari 49 kasus yang ada di Jawa Barat, sebagian besar di antaranya terjadi di Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan. ”Jumlah tersebut jauh lebih banyak daripada di daerah-daerah lain,” ujar Zuhairi dalam diskusi yang membahas laporan akhir tahun Toleransi dan Intoleransi 2010 yang digelar MMS.

Zuhairi menengarai, ada dua faktor utama penyebab eskalasi kekerasan akibat sikap intoleran meningkat di Jawa Barat. Faktor pertama adalah pembiaran yang dilakukan oleh negara. ”Faktor kedua ialah rendahnya pendidikan agama yang toleran di provinsi ini,” tutur Zuhairi. Meski demikian, ia juga melihat bahwa faktor politik, yakni pemilu kepala daerah, menjadi penyebab terjadinya kekerasan.

Ironisnya, aparat negara (polisi dan pemerintah daerah) menjadi salah satu aktor dari tiga aktor yang paling sering menjadi biang kerok kericuhan tersebut. Dua lainnya adalah ormas dan massa dari kelompok tanpa nama. Tiga aktor ini tak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, korban yang jatuh paling sering adalah dari umat nasrani dan pengikut Ahmadiyah. Komunitas berikutnya yang menjadi korban adalah kelompok yang didakwa sesat (Sinar Harapan, 22-12-2010).

Selama 2011, insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia hampir berlipat ganda. Menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), tahun 2011 terjadi 54 insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia. Umumnya pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia terus naik, dari 198 di tahun 2010 menjadi 276 di tahun 2011.

Menurut Compass Direct, Jakarta bahkan mengumbar intoleransi antarumat beragama dengan mengumumkan 36 aturan untuk melarang ritual agama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Tidakkah hal ini sangat memprihatinkan, mengingat Jakarta adalah ibu kota Indonesia?

Sementara itu, Setara Institute di Jakarta menarik kesimpulan, baik pemerintah maupun kelompok tertentu bertanggung jawab atas berbagai insiden kekerasan terhadap umat beragama di luar Islam. Sementara itu, provinsi yang paling parah menjadi korban kekerasan terhadap warga kristiani adalah Jawa Barat (160 kasus). Penelitian The Wahid Institute juga menunjukkan, sepanjang 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Jumlah itu berarti meningkat 18 persen jika dibandingkan dengan peristiwa serupa pada tahun sebelumnya, 62 kasus. Celakanya, institusi negara tercatat menjadi pelaku pelanggaran kebebasan beragama yang paling banyak, yakni 32 kali, disusul bupati, wali kota, atau pejabat pemerintah daerah sebanyak 28 kali.

Tindakan intoleran beragama dan berkeyakinan juga meningkat menjadi 184 kasus atau meningkat 16 persen ketimbang tahun 2010, 134 kasus. Tindakan intoleran yang paling banyak dilakukan adalah intimidasi dan ancaman kekerasan atas nama agama.

Kedua, saya yakin Menag Suryadharma Ali tahu tentang kasus GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelpia di Tambun yang hingga kini belum selesai. Pertanyaannya, apakah kedua kasus itu tidak menunjukkan kegagalan Indonesia dalam mengamalkan nilai toleransi? Saya berharap akan mendapat tanggapan secara terbuka, agar siapa pun dapat menilai bahwa Indonesia betul-betul layak dikategorikan sebagai negara paling toleran di dunia atau tidak

No comments: